Membaca Injil harian dan renungan memegang peranan penting bagi umat Katolik. Dengan melakukan ini, umat Katolik mendekatkan diri pada Tuhan setiap hari, memperkuat iman, dan membentuk karakter Kristiani.
Renungan harian juga memberikan ketenangan batin dalam kehidupan yang sibuk, sambil memberikan panduan moral. Waktu pribadi dengan Tuhan melalui Injil harian menciptakan momen spiritual yang mendalam.
Selain itu, membaca Injil mendorong umat Katolik untuk menyadari panggilan misioner dan memperkaya hubungan dengan sesama.
Saudara-saudari terkasih, hari ini kita masuk pada Bacaan Injil Katolik dan Renungan Harian Katolik buat Senin 20 Oktober 2025.
Kalender Liturgi hari Senin 20 Oktober 2025 merupakan Hari Senin Biasa XXIX, Santa Maria Bertilla Boscardin, Pengaku Iman, Santa Irene dari Portugal, Martir, Maria-Teresia Soubiran, Pengaku Iman, dengan Warna Liturgi Hijau.
Yuk, kita simak Bacaan Liturgi Katolik dan Renungan Harian Katolik pada hari Senin 20 Oktober 2025:
Bacaan Pertama : Rm. 4:20-25
Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.
Karena itu hal ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran. Kata-kata ini, yaitu “hal ini diperhitungkan kepadanya,” tidak ditulis untuk Abraham saja, tetapi ditulis juga untuk kita; sebab kepada kitapun Allah memperhitungkannya, karena kita percaya kepada Dia,
yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita.
Demikianlah Sabda Tuhan.
U. Syukur Kepada Allah.
Mazmur Tanggapan : Luk. 1:69-70,71-72,73-75
Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu,?
seperti yang telah difirmankan-Nya sejak purbakala oleh mulut nabi-nabi-Nya yang kudus?
untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita,
untuk menunjukkan rahmat-Nya kepada nenek moyang kita dan mengingat akan perjanjian-Nya yang kudus,
yaitu sumpah yang diucapkan-Nya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita,
supaya kita, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepada-Nya tanpa takut,
dalam kekudusan dan kebenaran di hadapan-Nya seumur hidup kita.
Bait Pengantar Injil
Ref. Alleluya
Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Alleluya.
Bacaan Injil : Lukas 12:13-21
Sekali peristiwa Yesus mengajar banyak orang. Salah seorang dari mereka berkata kepada Yesus, “Guru, katakanlah kepada saudaraku, supaya ia berbagi warisan dengan daku.” Tetapi Yesus menjawab, “Saudara, siapa yang mengangkat Aku menjadi hakim atau penengah bagimu?”
Kata Yesus kepada orang banyak itu, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan! Sebab walaupun seseorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak tergantung dari kekayaannya itu.”
Kemudian Ia menceritakan kepada mereka perumpamaan berikut, “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. Ia bertanya dalam hatinya, ‘Apakah yang harus kuperbuat, sebab aku tidak punya tempat untuk menyimpan segala hasil tanahku’.
Lalu katanya, ‘Inilah yang akan kuperbuat: Aku akan merombak lumbung-lumbungku, lalu mendirikan yang lebih besar, dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum serta barang-barangku.
Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya. Beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!’
Tetapi Allah bersabda kepadanya, ‘Hai orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu. Bagi siapakah nanti apa yang telah kausediakan itu?’ Demikianlah jadinya dengan orang yang menimbun harta bagi dirinya sendiri, tetapi ia tidak kaya di hadapan Allah.”
Demikianlah Injil Tuhan.
U. Terpujilah Kristus.
Renungan Harian Katolik Senin 20 Oktober 2025
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, hari ini kita diajak merenungkan dua wajah iman: wajah Abraham yang percaya sepenuhnya kepada janji Allah, dan wajah seorang kaya yang menaruh kepercayaannya pada kekayaan duniawi. Dua kisah ini ditempatkan berseberangan bukan untuk sekadar dibandingkan, tetapi agar kita menatap cermin jiwa kita sendiri — di mana sebenarnya kita menaruh harapan dan rasa aman kita?
Abraham, dalam bacaan pertama, tidak goyah meski janji Allah tampak mustahil. Usianya sudah lanjut, istrinya mandul, tetapi ia tetap percaya bahwa Allah sanggup melaksanakan apa yang Ia janjikan. Iman Abraham bukan sekadar percaya bahwa Tuhan ada, tetapi percaya bahwa Tuhan sanggup dan setia. Dan karena itulah, imannya diperhitungkan sebagai kebenaran. Allah melihat hati yang berpegang pada janji, bukan pada situasi. Abraham tidak tahu bagaimana janji itu akan digenapi, tapi ia tahu siapa yang memberi janji itu — dan itu sudah cukup.
Sebaliknya, dalam Injil hari ini, Yesus menegur seorang yang datang meminta bantuan soal warisan. Sekilas permintaannya tampak wajar, tapi Yesus menangkap sesuatu yang lebih dalam: rasa tamak yang diam-diam menguasai hati manusia. Yesus lalu bercerita tentang orang kaya yang lumbungnya berlimpah. Ia berpikir semuanya aman karena hasil panennya banyak. Ia merasa hidupnya terjamin oleh harta. Tapi Allah menyebutnya “orang bodoh” — karena ia sibuk menimbun untuk dirinya sendiri, namun tidak kaya di hadapan Allah.
Saudara-saudari, betapa sering kita seperti orang kaya itu. Kita sibuk membangun “lumbung” dalam bentuk lain: karier, tabungan, rumah, pengakuan, status sosial. Kita merasa aman ketika semua itu penuh, dan cemas ketika mulai berkurang. Kita sering lupa bahwa hidup bukan milik kita; bahwa jiwa kita bisa diminta kembali kapan saja. Maka, Yesus mengingatkan kita untuk waspada terhadap ketamakan, sebab ketamakan itu halus. Ia bisa menyelinap dalam bentuk rasa tidak pernah cukup, rasa takut kehilangan, atau keinginan untuk selalu lebih dari orang lain.
Namun Yesus tidak sedang melarang kita bekerja keras atau memiliki harta. Ia hanya ingin kita menempatkan semuanya dalam terang kebenaran iman: bahwa harta, jabatan, dan rencana hidup tidak akan berarti jika tidak menjadi sarana untuk mengenal dan mengasihi Allah serta sesama. Orang kaya dalam Injil disebut bodoh bukan karena ia kaya, melainkan karena ia lupa untuk bersyukur dan berbagi. Ia hidup seolah-olah dunia ini pusat segalanya, bukan Tuhan.
Iman Abraham mengajarkan kepada kita bahwa percaya berarti berserah, bukan bersandar pada kemampuan sendiri. Sedangkan kisah orang kaya mengingatkan bahwa percaya berarti juga tahu kapan harus berhenti menimbun dan mulai memberi. Hidup ini bukan tentang seberapa banyak yang kita punya, tetapi seberapa besar kita mampu mempercayakan diri pada Allah dan membagikan kasih kepada sesama.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh persaingan, sabda hari ini mengajak kita untuk berhenti sejenak dan bertanya:
Apakah aku kaya di hadapan Allah?
Apakah aku masih percaya pada janji-Nya, seperti Abraham, meski belum melihat hasilnya?
Atau aku justru lebih percaya pada harta, pekerjaan, dan kekuatan diriku sendiri?
Mari kita mohon agar hati kita menjadi seperti hati Abraham — yang tenang karena percaya, bukan karena memiliki banyak.
Dan semoga kita dijauhkan dari sikap seperti orang kaya dalam Injil — yang sibuk menimbun, tapi miskin dalam kasih.
Semoga hari ini kita belajar untuk “kaya di hadapan Allah”:
kaya dalam iman, murah hati dalam memberi, dan lapang dalam bersyukur.
Sebab pada akhirnya, yang akan kita bawa pulang bukan lumbung berisi gandum,
tetapi hati yang penuh cinta dan iman yang teguh kepada Allah. Amin.
Doa Penutup
Tuhan Yesus, ajarlah aku percaya seperti Abraham, bukan pada harta atau kekuatanku, tapi pada janji-Mu yang setia. Jadikan hatiku kaya di hadapan-Mu, murah hati pada sesama, dan selalu bersyukur atas setiap berkat yang Kau titipkan. Amin.