Netizen heboh banget waktu dengar kabar ada ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Awalnya banyak yang mikir, “Waduh, ini jangan-jangan aksi teror nih?” Tapi ternyata hasil penyelidikan dari Polda Metro Jaya bareng Densus 88 nunjukin fakta yang beda banget.
Bukan aksi teror, bukan juga karena jaringan ekstremis. Polisi justru nemuin fenomena baru yang disebut “Mimetic Violence” — alias kekerasan yang muncul karena… niru orang lain di internet! 😱
Yup, istilah ini pertama kali disebut sama AKBP Mayndra Eka Wardhana, dari Densus 88, pas konferensi pers tanggal 11 November 2025.
Menurutnya, pelaku (yang ternyata masih anak sekolah) bukan bagian dari gerakan teroris, tapi lebih ke “copycat” alias peniru tindakan kekerasan yang pernah viral di luar negeri.
“Yang bersangkutan hanya melakukan copycat dari tindakan kekerasan yang pernah terjadi sebelumnya,” jelas Mayndra.
🔍 Fenomena Mimetic Violence di Kasus SMAN 72
Pas diselidiki, polisi nemuin hal yang agak creepy. Di senjata mainan airsoft gun yang dipakai pelaku, ada nama-nama pelaku serangan massal terkenal dunia, kayak:
- Alexandre Bissonnette (penembakan Quebec City, 2017)
- Luca Traini (penembakan migran di Italia, 2018)
- Brenton Tarrant (penembakan masjid Selandia Baru, 2019)
- Eric Harris & Dylan Klebold (tragedi Columbine, AS)
- Dylann Roof (penembakan gereja Charleston, AS)
Semua nama itu bukan asal tulis — mereka memang sering dibahas di forum daring dan video ekstrem di internet.
Densus 88 akhirnya nyimpulin: ini bukan terorisme, tapi “memetic violence daring”, yaitu kekerasan yang muncul karena terinspirasi atau ketularan dari konten ekstrem di dunia digital.
Intinya, anak ini kayak “terpapar” ide-ide gila dari internet, lalu pengin “meniru” aksi brutal yang dilihatnya.
🧠 Penjelasan Psikolog: Kenapa Bisa Kepicu Niru Kekerasan?
Psikolog sekaligus grafolog Joice Manurung bilang, fenomena ini muncul karena ada dorongan dalam diri seseorang buat meniru perilaku agresif dari sosok yang mereka kagumi atau anggap keren.
“Mimetic Violence adalah kekerasan yang dihasilkan oleh keinginan untuk mengimitasi agresi dari sosok yang dianggap menginspirasi,” kata Joice ke detikcom (11 November 2025).
Masalahnya, pelaku kayak gini nggak selalu punya motif pribadi. Kadang cuma pengin “merasain sensasi” kayak yang dilakukan idolanya. Di era digital, ini makin parah karena video, forum, dan game bisa dengan gampang banget menyebarkan hal-hal ekstrem tanpa filter.
📚 Dari Filsafat ke Dunia Nyata: Girard & Dawkins
Ternyata istilah Mimetic Violence bukan asal nyebut doang. Ini punya akar teori keren dari dua pemikir besar:
- René Girard – filsuf asal Prancis yang ngenalin Mimetic Theory.
- Menurut dia, manusia punya kecenderungan buat meniru keinginan orang lain.
- Tapi gara-gara niru itu, muncul persaingan, iri, dan akhirnya… kekerasan.
- Jadi, “peniruan hasrat” bisa bikin konflik tanpa sadar.
- Richard Dawkins – ilmuwan biologi asal Inggris yang ngenalin Memetic Theory lewat bukunya The Selfish Gene (1976).
- Ia nyebut “meme” sebagai unit ide yang menyebar kayak virus.
- Jadi kayak gen, tapi versi ide atau perilaku.
- Nah, kalau yang disebar itu ide ekstrem, maka lahirlah “Memetic Violence”.
Kebayang kan, di zaman medsos kayak sekarang, satu video kekerasan bisa nular ke jutaan orang dalam hitungan jam.
Fenomena ini ngingetin kita kalau dunia digital tuh pedang bermata dua. Di satu sisi seru dan informatif, tapi di sisi lain, bisa bahaya banget kalau isinya kekerasan atau ide ekstrem disebar tanpa kontrol.
Ada anak-anak atau remaja yang masih nyari jati diri, lalu salah tangkep — ngira pelaku kekerasan itu “berani” atau “keren”, padahal jelas itu tragedi kemanusiaan.
Kasus SMAN 72 jadi contoh nyata gimana paparan internet bisa ngasih efek besar banget ke perilaku remaja.
🧩 Langkah Polisi dan Pentingnya Edukasi Digital
Karena pelaku masih tergolong Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), Densus 88 dan Polda Metro Jaya nggak langsung nindak keras. Fokusnya sekarang ke rehabilitasi dan konseling biar si anak bisa pulih dan paham kesalahannya.
Selain itu, polisi juga wanti-wanti masyarakat: hati-hati banget sama konten kekerasan di dunia maya. Orang tua dan guru harus lebih melek digital, jangan cuek sama apa yang anak-anak tonton atau baca online.
“Kasus seperti ini jadi pengingat bahwa dunia digital bukan cuma hiburan, tapi juga punya potensi bahaya kalau nggak disikapi dengan bijak,” tegas AKBP Mayndra.
Fenomena Mimetic Violence nunjukin betapa kuatnya efek peniruan di era internet. Kadang, tanpa sadar kita bisa nyerap ide, gaya, atau perilaku dari dunia maya — bahkan yang negatif.
Jadi, penting banget buat ngontrol apa yang kita konsumsi online, paham konteks, dan jangan gampang kagum sama hal-hal ekstrem. Soalnya, satu tindakan “niru” bisa berujung fatal.
Intinya: Jangan asal “copy-paste” dari dunia digital. Karena nggak semua yang viral itu patut ditiru. 🌐💭
