Lo pasti inget dong hebohnya kasus obat sirop beracun tahun 2022 yang bikin banyak anak-anak kena gagal ginjal? Nah, di balik berita itu, ada satu nama yang jadi simbol perjuangan — Raina Rahmawati, bocah kecil yang harus berjuang hidup gara-gara obat yang seharusnya nyembuhin, malah ngerusak ginjalnya.
Yuk, kita kupas tuntas kronologinya biar lo nggak cuma ikut-ikutan heboh doang, tapi ngerti kenapa kasus ini segede itu!
🧪 Awal Mula: Sirop yang Harusnya Nyembuhin, Malah Jadi Racun
Flashback ke tahun 2022, tiba-tiba banyak anak di berbagai daerah kena gagal ginjal akut misterius. Orang tua panik, rumah sakit rame, dokter bingung. Setelah diselidiki, ternyata mayoritas korban minum obat sirop produksi PT Afi Farma.
Masalahnya, sirop itu ketahuan tercemar zat kimia beracun — etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Dua zat ini tuh biasa dipakai buat anti-freeze (cairan radiator, bukan bahan obat!). Jadi kebayang dong bahaya kalau sampai masuk ke tubuh anak kecil?
Menurut laporan dari berbagai sumber kayak BBC News Indonesia dan Kompas.com, racun ini nyasar karena proses produksi yang super ceroboh.
Bahan pelarut kayak propilen glikol dan gliserin yang seharusnya aman, malah kebawa cemaran zat beracun gara-gara nggak diuji dengan benar.
Padahal, aturan WHO jelas banget: batas aman EG dan DEG cuma 0,1%, tapi hasil lab Polri nemuin kadar racunnya di batch Afi Farma ini sampai 96–99%! Gila nggak tuh?
👧 Kisah Raina Rahmawati: Bocah Kuat yang Jadi Simbol Perjuangan
Di antara ratusan korban, kisah Raina Rahmawati paling nyentuh hati. Waktu itu Raina masih 16 bulan dan tiba-tiba ginjalnya rusak gara-gara obat sirop yang dikasih buat ngatasin demam. Tubuhnya jadi lemah, matanya susah fokus, bahkan sempat kritis.
Untungnya, Raina selamat — tapi bukan berarti semuanya beres. Sekarang dia masih harus cuci darah rutin, tulangnya rapuh, berat badannya jauh di bawah anak seumurnya, dan penglihatan terganggu.
Ibunya, Sri Rubiyanti, cerita kalau mereka harus ke rumah sakit dua kali seminggu, dan meskipun BPJS bantu, banyak kebutuhan lain kayak susu khusus, obat tulang, dan biaya transport yang harus mereka tanggung sendiri.
Sri juga nyesek banget karena ngerasa pemerintah kayak “cuek aja” sama nasib anak-anak kayak Raina. “Dari awal sampai sekarang nggak ada tanggung jawab pemerintah,” katanya. 🥺
⚖️ Drama Hukum: Keluarga Lawan Perusahaan dan Pemerintah
Gara-gara nggak tahan terus dirugiin, orang tua Raina akhirnya gugat PT Afi Farma, BPOM, Kemenkes, dan Puskesmas Pasar Rebo ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mereka minta kompensasi Rp 4,9 juta per bulan buat biaya pengobatan yang nggak ditanggung BPJS.
Sayangnya, dua kali mediasi — hasilnya zonk. Semua tergugat ngeyel nggak mau tanggung jawab, alasan klasik: “bukan kewenangan kami.”
Padahal menurut Komnas HAM, pemerintah dan BPOM jelas lalai dalam mengawasi peredaran obat ini. Tapi ya gitu deh, ujung-ujungnya bola tanggung jawabnya dipantul-pantulin ke sana kemari. 😤
⚖️ Vonis yang Bikin Warga Geleng-Geleng Kepala
Nah, setelah drama panjang, akhirnya 1 November 2023, Pengadilan Negeri Kediri ngejatuhin vonis ke empat pejabat PT Afi Farma:
- Arief Prasetya Harahap (Dirut)
- Nony Satya Anugrah (Manajer Pengawasan Mutu)
- Aynarwati Suwito (Manajer Quality Assurance)
- Istikhomah (Manajer Produksi)
Mereka cuma dihukum 2 tahun penjara + denda Rp1 miliar. Padahal jaksa udah nuntut 7–9 tahun. Hasilnya? Super ringan.
Jaksa pun sempat bilang bakal pikir-pikir buat banding karena vonisnya nggak sepadan sama penderitaan para korban.
🏭 Rantai Kelalaian: Dari Pabrik Kimia ke Meja Operasi Anak
Bareskrim Polri nemuin fakta yang lebih bikin kening berkerut: bahan baku PT Afi Farma ternyata dibeli dari CV Samudera Chemical, yang ternyata ngoplos bahan propilen glikol dengan zat beracun EG.
Dari situ, bahan itu dijual muter-muter lewat beberapa perusahaan lain sebelum akhirnya sampai ke pabrik Afi Farma — dan boom! racunnya lolos ke produk yang beredar ke puskesmas-puskesmas.
Yang parah, Afi Farma nggak ngetes lagi bahan bakunya. Mereka cuma percaya sama dokumen Certificate of Analysis (COA) dari pemasok.
Sementara BPOM juga kecolongan karena nggak ngawasin rantai pasok farmasi seketat itu. Jadi ya, kelalaiannya berlapis-lapis, kayak drama sinetron tapi versi tragis. 😔
🚨 Efek Domino: Dunia Farmasi Kena Tampar Keras
Kasus ini jadi tamparan keras buat industri farmasi di Indonesia. Bayangin aja, lebih dari 200 anak kena gagal ginjal akut, dan puluhan meninggal dunia (data Kemenkes RI, 2023).
Masyarakat jadi waspada banget — banyak orang tua sekarang takut beli obat sirop sembarangan, bahkan lebih milih resep dokter aja biar aman.
Kepercayaan publik ke obat lokal juga drop parah. Padahal industri farmasi lokal tuh penting banget buat kemandirian obat dalam negeri. Tapi kalau kejadian kayak gini masih terulang, siapa yang mau percaya lagi?
Sampai sekarang, banyak keluarga korban masih berjuang. Pemerintah katanya janji mau kasih santunan, tapi sebagian besar korban bilang belum dapet apa-apa.
Sri, ibu Raina, bilang dengan tegas: “Ini bukan takdir anak kami, ini akibat kelalaian mereka.”
Ia berharap pemerintah bukan cuma sibuk sidangin perusahaan, tapi juga urus pemulihan korban — baik secara medis, finansial, maupun mental. Karena buat keluarga kayak mereka, perjuangan belum selesai.
Kasus Raina Rahmawati dan PT Afi Farma ini bukan cuma tentang satu perusahaan yang ceroboh, tapi juga soal sistem pengawasan yang lemah dan tanggung jawab negara yang masih bolong.
Semoga tragedi ini bisa jadi wake-up call buat semua pihak — dari produsen, pengawas, sampai kita sebagai konsumen — biar lebih kritis dan nggak asal percaya sama label “aman” di kemasan obat.
