Membaca Injil harian dan renungan memegang peranan penting bagi umat Katolik. Dengan melakukan ini, umat Katolik mendekatkan diri pada Tuhan setiap hari, memperkuat iman, dan membentuk karakter Kristiani.
Renungan harian juga memberikan ketenangan batin dalam kehidupan yang sibuk, sambil memberikan panduan moral. Waktu pribadi dengan Tuhan melalui Injil harian menciptakan momen spiritual yang mendalam.
Selain itu, membaca Injil mendorong umat Katolik untuk menyadari panggilan misioner dan memperkaya hubungan dengan sesama.
Saudara-saudari terkasih, hari ini kita masuk pada Bacaan Injil Katolik dan Renungan Harian Katolik buat Sabtu 19 Juli 2025.
Kalender Liturgi hari Sabtu 19 Juli 2025 merupakan Hari Sabtu Pekan Biasa XV dengan Warna Liturgi Hijau.
Yuk, kita simak Bacaan Liturgi Katolik dan Renungan Harian Katolik pada hari Sabtu 19 Juli 2025:
Bacaan I – Kidung Agung 3:1-4a
“Impian mempelai perempuan.”
Di dalam kerinduannya, sang mempelai berkata: Pada malam hari, di atas peraduanku, kucari jantung hatiku. Kucari dia, tapi tak kutemukan. Aku bangun dan berkeliling di kota; di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kucari dia, jantung hatiku.
Kucari dia, tapi tak kutemukan. Aku ditemui peronda-peronda kota. “Apakah kamu melihat jantung hatiku?” Baru saja meninggalkan mereka, kutemukan jantung hatiku. Kupegang dia, dan tak kulepaskan lagi.
Demikianlah Sabda Tuhan.
U. Syukur Kepada Allah.
Mazmur Tanggapan Mzm 63:2.3-4.5-6.8-9
Ref. Jiwaku haus pada-Mu, Tuhan, ingin melihat wajah Allah.
- Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus akan Dikau tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, yang tiada berair.
- Demikianlah aku rindu memandang-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan dan kemuliaan-Mu. Sebab kasih setia-Mu lebih baik daripada hidup; bibirku akan memegahkan Dikau.
- Aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu. Seperti dijamu lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan, bibirku bersorak sorai, mulutku memuji-muji.
- Sungguh, Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak sorai. Jiwaku melekat kepada-Mu.
Bait Pengantar Injil Alleluya
Ref. Alleluya.
Katakanlah Maria, engkau melihat apa? Wajah Yesusku yang hidup, sungguh mulia hingga aku takjub.
Bacaan Injil Yohanes 20:1.11-18
“Ibu mengapakah engkau menangis? Siapakah yang engkau cari?”
Pada hari Minggu Paska, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur Yesus dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur. Maria berdiri dekat kubur itu dan menangis.
Sambil menangis ia menjenguk ke dalam kubur itu, dan tampaklah olehnya dua orang malaikat berpakaian putih yang seorang duduk di sebelah kepala dan yang lain di sebelah kaki di tempat mayat Yesus terbaring.
Kata malaikat-malaikat itu kepadanya, “Ibu, mengapa engkau menangis?” Jawab Maria kepada mereka, “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakkan.”
Sesudah berkata demikian Maria menoleh ke belakang, dan melihat Yesus berdiri di situ; tetapi ia tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus.
Kata Yesus kepadanya, “Ibu, mengapa engkau menangis? Siapakah yang engkau cari?” Maria menyangka orang itu adalah penunggu taman.
Maka ia berkata kepadanya, “Tuan, jikalau Tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku di mana Tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya.”
Kata Yesus kepadanya, “Maria!” Maria berpaling dan berkata kepada-Nya dalam bahasa Ibrani, “Rabuni!” artinya: Guru. Kata Yesus kepada-Nya, “Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa.
Tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.”
Maria Magdalena pergi dan berkata kepada murid-murid, “Aku telah melihat Tuhan!” dan juga bahwa Tuhanlah yang mengatakan hal-hal itu kepadanya.
Demikianlah Sabda Tuhan.
U. Terpujilah Kristus.
Renungan Harian Katolik Sabtu 19 Juli 2025
Mengenali Tuhan dalam Kerinduan dan Air Mata
Saudara-saudari terkasih,
Dalam hening pagi, di balik kesunyian kubur, kita bertemu dengan sosok yang mungkin sangat akrab bagi banyak dari kita: Maria Magdalena. Ia datang dengan hati yang hancur, dengan air mata yang belum kering sejak Jumat Sore itu. Dalam kegelapan subuh, ia mencari Yesus. Tapi apa yang ia temukan adalah kehampaan. Kubur kosong. Dan ia pun menangis.
Maria tidak hanya kehilangan seorang guru. Ia kehilangan pusat hidupnya. Ia merasa kehilangan cinta yang telah mengubah hidupnya. Dan dalam kehilangan itu, ia mencari. Persis seperti gambaran dalam bacaan pertama dari Kidung Agung: “Pada malam hari, di atas peraduanku, kucari jantung hatiku.”
Saudara-saudari, bukankah sering kali kita pun seperti Maria? Dalam perjalanan hidup kita, kita mencari sesuatu yang hilang—mungkin harapan yang pudar, cinta yang tak lagi terasa, iman yang mulai hambar, atau bahkan Tuhan sendiri yang rasanya begitu jauh. Kita menangis, tapi kita tidak tahu harus menangisi siapa. Kita resah, tapi tak jelas pada siapa hendak mengadu.
Namun perhatikan satu hal yang amat penting. Dalam Injil, Maria tidak hanya menangis. Ia bertahan. Ia tidak pergi dari tempat kegelapan itu. Ia tetap tinggal, tetap mencari, tetap berharap meski tanpa kepastian. Dan justru dalam kesetiaan itulah, Yesus menampakkan diri kepadanya.
Tetapi menarik sekali bahwa Maria tidak langsung mengenali Yesus. Ia mengira Dia adalah penjaga taman. Hanya setelah Yesus menyebut namanya, “Maria!” barulah ia sadar siapa yang berdiri di hadapannya. Suara itu, panggilan yang begitu personal dan lembut, menyentuh hatinya.
Saudara-saudari, Tuhan tidak hadir dalam kilatan spektakuler, tapi dalam panggilan yang personal dan akrab. Dia menyapa kita lewat suara hati, lewat bisikan dalam doa, lewat kehadiran orang-orang yang mencintai kita, lewat momen kecil yang kita jalani setiap hari. Dan sering kali, kita baru menyadari kehadiran-Nya setelah kita mau diam, bertahan, dan membuka hati kita.
Renungan ini mengajak kita untuk meneladani Maria dalam dua hal:
Pertama, berani untuk tetap mencari dan bertahan meski Tuhan terasa jauh. Iman bukan soal selalu merasa dekat dengan Tuhan, tapi soal tetap mencari-Nya walau kita belum menemukannya.
Dan kedua, membuka hati untuk mengenali suara-Nya yang memanggil kita secara pribadi. Sebab Tuhan tidak berbicara dalam bahasa asing; Ia menyapa dalam bahasa cinta, dengan nama kita masing-masing.
Seperti pemazmur berkata, “Jiwaku haus pada-Mu, Tuhan, ingin melihat wajah Allah.” Maka jangan pernah menyerah saat hati terasa kosong. Kadang, ketika kita merasa paling sendiri, Tuhan justru paling dekat. Saat air mata belum berhenti mengalir, mungkin itulah saat ketika Ia berdiri tepat di belakang kita, menanti kita menoleh.
Dan ketika kita mendengar suara itu—“Maria,” atau “Anton,” “Rina,” “Budi,” atau siapapun kita—semoga kita juga bisa menjawab: “Rabuni!”—Guru, Tuhan, Jantung hatiku—Engkaulah yang kucari selama ini. Amin.
Doa Penutup
Tuhan Yesus, ajar aku untuk setia mencari-Mu meski dalam gelap dan air mata. Bukalah hatiku agar mampu mengenali suara-Mu yang memanggilku dengan kasih. Jadikan aku berani bertahan dan percaya, bahwa Engkau selalu dekat, tak pernah meninggalkan. Amin.